bilik27

handsomebee

bilik27

handsomebee

bilik27

handsomebee

bilik27

handsomebee

bilik27

handsomebee

Misteri Lagu Pemanggil Kuntilanak

ingsir wengi sliramu tu****ng sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
wojo lelayu sebet
 
Petikan syair diatas pasti tidak asing lagi bagi yang pernah menonton film kuntilanak yang dibintangi julie estelle, itu adalah syair durma yang bisa memanggil kuntilanak seperti yang diceritakan dalam film tersebut.

Durma itu adalah salah satu pakem lagu dalam Macapat. Macapat adalah kumpulan lagu Jawa yang mencakup 11 pakem (Dandhanggula, Mijil, Pocung, Megatruh, Gambuh, Sinom, Maskumambang, Pangkur, Durma, Asmarandana, dan Kinanthi). Tradisi Macapat ini diperkirakan sudah mulai ada sejak jaman akhir kerajaan Majapahit.
kira-kira artinya kayak gini:

Menjelang malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna…
Jangan terbangun dari tidurmu…
Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri)…
Aku sedang gelisah,
Jin setan ku perintahkan
Jadilah apapun juga,
Namun jangan membawa maut…

Setiap jenis pakem itu ada rumusnya (misal terdiri berapa baris; berapa suku kata; dan bunyi vokal tiap akhir baris). Jadi Durma pun punya rumus juga, dan Tembang Durma itu nggak cuma satu macam tapi banyak judulnya. Yang di muat di film itu cuma salah satunya. Rumus pakem lagu Durma adl: 12-a; 7-i; 6-a; 7-a; 8-i; 5-a; 7-i.

Setiap tembang dalam Macapat mencerminkan watak yang berbeda-beda. Durma, disebut sebagai bagian Macapat yang mencerminkan suasana/sifat keras, sangar, dan suram. Bahkan kadang mengungkapkan hal-hal yg angker dlm kehidupan. Cocok tuh, kalo film Kuntilanak mengekspos tembang ini. Tauuu aja…

Dalam tradisi Jawa, ada istilah Tembang Dolanan (Lagu Mainan). Yang dimaksud adalah lagu yang dipakai untuk ritual permainan magis Jawa. Misal, ada lagu untuk memainkan Jalangkung; ada lagu untuk memanggil roh dlm permainan boneka Ni Thowong; dsb. Ada pula lagu yang dipercaya bisa memanggil buaya di sungai (dari pakem Megatruh), dan oleh orang Jawa sampai saat ini masih menjadi mitos larangan untuk dinyanyikan di sungai.

Tapi untuk lagu-lagu ritual, biasanya nggak berdiri sendiri untuk memfungsikannya. Lagu itu dinyanyikan dengan iringan syarat ritual yg lain. Tiap ritual syarat/sesajinya biasanya sangat spesifik, jadi kalo tidak memakai sesaji itu ya lagu yg dinyanyikan nggak akan berpengaruh.

Di adat Jawa, ada lagu lain untuk "manggil" setan:

Sluku-sluku bathok, bathok’e ela-elo
Si romo menyang solo, oleh-oleh’e payung muntho
Mak jenthit lo-lo lobah, wong mati ora obah
Yen obah medheni bocah…

Dulu sebelum ada mainan2 canggih kayak sekarang, yg ada cuma mainan tradisional. Anak – anak Jawa punya tradisi, kalo bulan purnama mereka bikin boneka dari keranjang bunga yg habis dipakai buat ziarah (kayak Jelangkung). Trus bikin sesaji bunga tujuh rupa, sirih, dan tembakau, ditaruh di salah satu pinggir sungai.

di malam bulan purnama, anak – anak mengelilingi boneka itu sambil menyanyikan lagu tadi. Lagu itu dinyanyikan berulang kali sambil memegang boneka, dan lalu… Boneka akan bergerak… agresif…!

Itu artinya roh penunggu sungai telah masuk ke boneka dan mau diajak bermain. Permainannya, boneka itu harus terus dipegang dan roh boneka itu akan membawa pemegangnya berlari-lari kemana-mana, lalu ini dijadikan permainan kejar-kejaran.

Siapa yg kelelahan akan ‘ditangkap’ oleh ‘boneka hidup’ itu, dipukuli dengan kepala boneka yg biasanya dibuat dari tempurung. Yang menggerakkan adl roh di dlm boneka itu.

Permainan ini disebut Ni Thowong, atau Ninidok, atau ada lagi yg nyebut Nini Thowok.

Permainan tersebut emang lazim dimainkan anak – anak jaman dulu, soalnya jaman dulu belum ada mal, belum ada bioskop apalagi playstation, dll..

Mantra penanggulangannya

Nga tha ba ga ma,
Nya ya ja dha pa,
La wa sa ta da,
Ka ro co no ho. (di baca 7 kali)


Jika diamati, mantra diatas sebenarnya adalah ejaan huruf Jawa tapi disusun terbalik. Itu disebut Caraka Walik, mantra Jawa Kuno untuk menangkal roh jahat.

Filsafat Pohon Pisang


Lima tahun lebih berumah tangga, lima tahun pula kami tinggal di rumah mertua. Sejak malam pertama pernikahan hingga si kecil berusia empat tahun, kami nyaris tak pernah memikirkan untuk beranjak dari PMI atau Pondok Mertua Indah.

Bisa dikatakan, selama kurun waktu itu kami juga tidak pernah merasakan kendala-kendala yang berarti dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Kalaupun ada konflik di antara kami paling sebatas persoalan yang biasa terjadi dalam kehidupan rumah tangga, misalnya saja masalah si kecil yang sakit dan kurang diperhatikan ibunya.

Meski demikian, sebagai suami yang ingin membahagiakan anak dan istri, bukan berarti aku tidak memiliki keinginan untuk hidup mandiri. Tapi rasanya tidak mudah meyakinkan mertua untuk mengikuti keinginanku itu. Hingga tak terasa waktu telah berlalu selama lima tahun. Memang, selama hidup di rumah mertua, sedikit banyak kami bisa menyisihkan sedikit dari penghasilan yang kami peroleh untuk di tabung. Dan atas saran mertua, uang tabungan yang tidak seberapa itu kami gunakan untuk modal usaha yang lebih produktif, seperti membeli sawah garapan, beternak ayam atau usaha mengreditkan barang-barang keperluan sehari-hari yang dilakukan istri.

Tapi, terus terang saja, hidup dalam kondisi seperti itu tidak selalu mengenakkan. Sebagai suami, rasa jenuh acapkali menghinggapi perasaanku.

Belakangan perasaan itu makin mengental, karena kondisiku yang bekerja di Jakarta mengharuskan pulang ke rumah dua minggu sekali. Konsekuensinya, bila tiba di rumah malam hari, aku harus membangunkan istri dengan mengetuk pintu depan terlebih dahulu. Hal ini aku anggap mengganggu waktu istirahat mertua. Apalagi bila istri sudah terlelap, mertualah yang membukakan pintu. Lama kelamaan akupun merasa risih.

Suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Jakarta - di dalam bus yang aku naiki - di sebelahku duduk seorang pria berusia cukup tua. Seperti biasa, untuk mengusir kejenuhan selama dalam perjalanan, akupun membuka obrolan dengannya.

Setelah hampir seperempat jam, kami ngobrol ngalor ngidul, akhirnya percakapan kami mulai menjurus pada topik yang lebih serius.

"Jadi setiap dua minggu sekali, adik pulang ke Jawa?," tanya orang tua itu.
"Ya, mau gimana lagi Pak. Anak dan istriku masih di sana, di rumah mertua. Sementara pekerjaanku di Jakarta. Jadinya seperti ini, bolak-balik terus," jawabku.

"Melelahkan sekali ya?," tandas orang tua itu.
"Ya. Bukan hanya capek fisik, ongkos ke Jawa juga bikin capek," tegasku.

"Kalau dihitung-hitung pengeluaran tiap bulan besar juga ya? Buat ongkos pulang, makan sehari-hari, sewa kamar dan ninggalin biaya hidup di kampung," tandas orang tua itu lagi.
Aku hanya mengangguk.

"Kalau boleh Bapak menyarankan. Sebaiknya adik bawa saja anak istri ke Jakarta. Itu lebih baik daripada ketemu dua minggu sekali dan risikonya lebih besar. Apalagi hidup di Jakarta, godaannya banyak," saran pria yang mengaku bernama Pak Hadi itu sambil tersenyum.

"Tapi, rasanya saya belum berani mengajak anak istri tinggal bersama. Apalagi penghasilan saya tidak seberapa," jawabku.
"Justru itu. Kita seringkali dibayang-bayangi ketakutan yang sebenarnya hanya merupakan godaan agar kita tidak berkembang. Sebagai suami, kita harus berani mengambil risiko, betapapun beratnya resiko itu.

Lihatlah kehidupan pohon pisang. Bila mereka tetap hidup dalam satu rumpun, pertumbuhannya sangat lambat. Tapi bila anak-anak pisang itu dipisahkan dari induknya, pertumbuhan mereka demikian cepat. Begitu juga kita.

Sekalipun hidup serba ada di rumah mertua, tapi kita masih bagian dari mereka. Lain halnya kalau kita mandiri. Kita memiliki kewenangan lebih besar dalam mengatur rumah tangga. Lagipula yang mengatur rezeki itu Tuhan, bukan kita. Jadi mengapa mesti takut?," jelas Pak Hadi panjang lebar.

Mendapat nasehat itu, sepertinya aku mendapat dorongan semangat yang selama ini nyaris tak pernah muncul dalam benakku. Alhamdulillah, berkat dorongan Pak Hadi , aku memberanikan diri untuk mandiri. Selanjutnya, sehari-hari aku bisa hidup berkumpul dengan anak dan istri.

Lebih bersyukur lagi, dari tabungan yang selama ini dikumpulkan istri, kini kamipun bisa membayar uang muka rumah di sebuah perumahan di pinggir Jakarta. Meski tidak terlalu besar, tapi terselip kebanggaan bahwa pada akhirnya akupun bisa mandiri.

Aku berharap menjadi seperti anak-anak pisang yang setelah dipisahkan dari induknya bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat.


Jalan Pintas


Keberhasilan tak diperoleh begitu saja. Ia adalah buah dari pohon kerja keras. Jangan terlalu berharap pada kemujuran. Tahukah anda apa itu kemujuran? Bukankah, kita tak selalu mampu menjelaskan dari mana datangnya kemujuran.

Sadarilah bahwa segala sesuatu perlu berjalan alami dan semestinya. Pertumbuhan diri adalah proses mendaki tangga. Anda harus melalui anak tangga satu per satu. Tak perlu repot mencari-cari jalan pintas, karena tak ada jalan pintas.

Hargai saja setiap langkah kecil yang membawa anda maju. Ketergesaan adalah beban yang memberati langkah saja.
Amatilah jalan lurus anda. Tak peduli bergelombang atau berbatu, selama anda yakin berada di jalan yang tepat, maka melangkahlah terus. Dan, jalan yang tepat itu adalah jalan yang menuntun anda menjadi diri anda sendiri.

*
Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki. (Mahatma Gandhi)

Jangan Jalani Hidup Sendirian



Sudah hampir tengah malam. Alun-alun kota mulai sepi. Sepasang suami istri setengah baya itu mengemasi dagangannya. Sang istri membereskan piring, gelas dan perabot lain. Sedangkan si suami memasukkannya dalam gerobak.

Sesaat mereka menghitung berapa laba yang masuk. Siapa pun tahu, penghasilan tak selalu datang seperti yang diharapkan. Terkadang hujan turun, terkadang petugas ketertiban menghalau, atau terkadang semuanya begitu menggembirakan.

Manis dan asam memang bumbu penyedap sehari-hari. Yang pasti, esok, kehidupan sekali lagi harus dijalani. Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak cukup. Kita perlu sebuah kekuatan batin; yaitu, kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi.

Orang bilang, ini adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan. Sepasang suami istri itu berjalan bergegas. Yang laki mendorong gerobak, yang perempuan terkantuk-kantuk duduk di atasnya. Keduanya berlalu menembus malam. Hidup memang bukan untuk dijalani sendiri. Tapi bersama teman, sahabat atau kekasih, hidup adalah untuk saling kuat-menguatkan, topang-menopang, serta kasih-mengasihi.


Jembatan Maaf

Alkisah ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka jatuh ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah pertama kalinya mereka bertengkar sedemikian hebat. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan, saling meminjamkan peralatan pertanian, dan bahu membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerja sama yang akrab itu kini retak. Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki. Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa. 

Suatu pagi, seseorang mengetuk rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu. 

"Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan," kata pria itu dengan ramah. "Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan."

"Oh ya!" jawab sang kakak. "Saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ..ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan buldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya."

Kata tukang kayu, "Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat tuan merasa senang."

Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu. Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya. Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi. Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar.

"Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku." kata sang adik pada kakaknya.

Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi. 

"Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu," pinta sang kakak.

"Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini," kata tukang kayu, "tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan."
 
(rekan-kantor.com)

Kata-kata Kehidupan

Sekelompok kodok sedang berjalan-jalan melintasi hutan. 

Malangnya, dua di antara kodok tersebut jatuh kedalam sebuah lubang. Kodok-kodok yang lain mengelilingi lubang tersebut.
Ketika melihat betapa dalamnya lubang tersebut, mereka berkata pada kedua kodok tersebut bahwa mereka lebih baik mati.
Kedua kodok tersebut mengacuhkan komentar-komentar itu dan mencoba melompat keluar dari lubang itu dengan segala kemampuan yang ada. Kodok yang lainnya tetap mengatakan agar mereka berhenti melompat dan lebih baik mati.
Akhirnya, salah satu dari kodok yang ada di lubang itu mendengarkan kata-kata kodok yang lain dan menyerah.
Dia terjatuh dan mati. Sedang kodok yang satunya tetap melanjutkan untuk melompat sedapat mungkin. Sekali lagi kerumunan kodok tersebut berteriak padanya agar berhenti berusaha dan mati saja.
Dia bahkan berusaha lebih kencang dan akhirnya berhasil.
Akhirnya, dengan sebuah lompatan yang kencang, dia berhasil sampai di atas.
Kodok lainnya takjub dengan semangat kodok yang satu ini, dan bertanya "Apa kau tidak mendengar teriakan kami?"
Lalu kodok itu (dengan membaca gerakan bibir kodok yang lain) menjelaskan bahwa ia tuli.
Akhirnya mereka sadar bahwa saat di bawah tadi mereka dianggap telah memberikan semangat kepada kodok tersebut.

Apa yang dapat kita pelajari dari ilustrasi di atas?

Kata-kata positif yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" justru dapat membuat orang tersebut bangkit dan membantu mereka dalam menjalani hari-hari. Sebaliknya, kata-kata buruk yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" dapat membunuh mereka. Hati hatilah dengan apa yang akan diucapkan.

Suarakan 'kata-kata kehidupan' kepada mereka yang sedang menjauh dari jalur hidupnya. Kadang-kadang memang sulit dimengerti bahwa 'kata-kata kehidupan' itu dapat membuat kita berpikir dan melangkah jauh dari yang kita perkirakan.

Semua orang dapat mengeluarkan 'kata-kata kehidupan' untuk membuat rekan dan teman atau bahkan kepada yang tidak kenal sekalipun untuk membuatnya bangkit dari keputus-asaanya,
kejatuhannya, kemalangannya.

Sungguh indah apabila kita dapat meluangkan waktu kita untuk memberikan spirit bagi mereka yang sedang putus asa dan jatuh.

So................ Please don't give up !!!
If  you try to do the best thing,
must be some day...... you can get all your dreaming of.