Koruptor Cinta

Ada satu hal yang saya kagumi dari tanaman – entah itu bunga, rumput, pohon kelapa dan sejenisnya – yakni menjalani kehidupan dengan penuh keikhlasan. 

Dipupuk terimakasih, dibiarkan terimakasih, dipindahkan tidak mengeluh, dapat sinar matahari syukur, kehilangan sinar matahari ia tidak ngambek secara mendadak. Gerakan dan siklus hidupnya demikian lentur dan hampir tanpa tenaga penolakan dan perlawanan. Dalam substansinya yang agak dalam, tanaman adalah personifikasi cinta yang amat mengagumkan. Sebab, ia mencintai hanyalah untuk kepentingan mencintai sendiri. Tidak ada kegiatan barter, dagang, apa lagi menghitung untung rugi.

Sekarang bandingkan semua itu dengan kita manusia. Melalui ‘kelebihan’ - dibandingkan dengan tanaman - yang kita sebut dengan akal budi, tidak sedikit manusia yang sudah hidup jauh keluar dari substansi cinta terakhir. Keikhlasan sebagai akar dasar dari cinta dalam bentuknya yang substansial, telah dibelokkan oleh serangkaian ukuran akal budi, menjadi sesuatu yang lebih dekat dengan kebodohan, ketidaktahuan, dan keluguan. Dan dalam banyak kesempatan terbukti, keikhlasan telah menjadi ladang tempat di mana orang-orang yang akal budinya demikian pandai, kemudian mengeruk keuntungan dan kesempatan.

Ini yang persisnya terjadi dalam kehidupan orang-orang ‘bodoh’ seperti saya ini. Tanpa pernah menyebut diri salah alamat, karena lahir dan besar di dunia usaha yang berideologikan untung rugi, keikhlasan saya sering kali menjadi lahan menyenangkan bagi mereka yang mau mengeruk keuntungan tanpa perduli prosesnya.

Dengan menyebut diri bekerja tanpa bantuan optimal, pernah ada atasan yang memohon agar jatah bonus saya dialihkan untuk dirinya. Dan setelah diajak bicara, saya ikhlaskan. Sebab, berkelahi dengan alasan uang, bagi saya, hanya akan memancing munculnya nafsu-nafsu rendah. Dikerjain di sana-sini karena, ada orang yang takut berlebihan jika orang lurus seperti saya ini in charge, saya biarkan saja. 

Diberikan perusahaan yang laporan keuangannya penuh make up, pemilik meminta saya untuk menjaga kedamaian, dan untuk hal terakhir saya hanya bisa tersenyum sambil diam. Sebagaimana biasa, di kursi kedudukan tertinggi di perusahaan manapun, senantiasa kental dengan intrik dan politik. Jangankan pembelokan data dan informasi, tuduhan dan hinaan kerap diarahkan ke saya. Dan inipun saya jawab dengan obat generik yang sama : keikhlasan.

Jangan pikir itu semua dilakukan tanpa ongkos dan biaya. Ongkos dan biayanya cukup mahal. Kadang memang badan dimakan oleh penyakit. Kinerja di tempat tidur agak terganggu. Nafsu untuk membenci dan marah dalam waktu-waktu tertentu memang terpancing untuk muncul ke luar. Tidak jarang terjadi, merasa diri seperti orang bodoh dan tolol. Namun, apapun ongkosnya saya ikhlaskan. Bahkan, kursi yang saya duduki dan diperebutkan demikian banyak orang inipun, kalau mau diambil sama yang berwenang saya biarkan saja. Jangankan ketika peluang kerja dan usaha terbuka demikian lebarnya buat saya, dulu ketika masih tinggal di rumah kontrakanpun, saya pernah mengembalikan pekerjaan dan jabatan yang bernilai uang demikian banyak kepada pemilik perusahaan. 

Dalam kedalaman renungan saya ingin berbagi ke Anda, bukan cerita dan pengalaman saya yang penting, namun betapa masih banyaknya manusia yang membiarkan cintanya dikorupsi secara habis-habisan oleh akal budi. Sebagaimana pernah ditulis dalam buku terakhir saya yang berjudul ‘Percaya Cinta Percaya Keajaiban’, burung bepergian dengan cara terbang, ikan dengan jalan berenang, anjing dengan cara berlari. Dan manusia, ia bisa pergi ke tempat yang indah dan jauh melalui jalan-jalan cinta. Serta keikhlasan, ia sejenis mesin turbo yang membuat kendaraan cinta bisa berjalan demikian cepat dan meyakinkan.

Entah bagaimana Anda memandang akal budi, sayapun masih mensyukuri akal budi sebagai salah satu rahmat Tuhan. Namun, membiarkan akal budi mengkorup cinta, adalah sejenis kekurangan yang senantiasa saya waspadai. Lebih-lebih memupuk akal budi dengan harapan, keinginan dan keserakahan. Bagi saya, ia mudah sekali membuat kita seperti sapi yang diikat dalam sebuah tiang kokoh. Satu-satunya pilihan yang tersedia hanyalah berputar mengelilingi tiang yang sama (baca : keserakahan).

Di berbagai forum ada yang bertanya, bagaimana kita bisa keluar dari lilitan tali yang diikat kuat dalam tiang terakhir ? Ibarat menyiramkan bensin ke dalam api, demikianlah orang-orang yang beranggapan bahwa keserakahan dan keinginan bisa dihilangkan dengan memuaskannya. Satu-satunya cara agar keluar dari ikatan terakhir, adalah dengan belajar melupakannya. Setiap kali ia datang, tidak usah diperhatikan. Setiap saat keserakahan berkunjung, biarkan saja ia datang tanpa perlu disapa.

Semakin sering ia diperlakukan demikian, keserakahan akan semakin jarang berkunjung ke dalam rumah kehidupan kita. Begitu ia jarang berkunjung, maka tamu lain yang lebih sering datang. Tamu terakhir bernama keikhlasan.

Anda bebas menyimpulkan dan mengambil sikap, apakah sikap dan pilihan hidup seperti ini lebih dekat ke dalam kebodohan dan keluguan, atau lebih dekat pada keikhlasan sebagai mesin turbo dari kendaraan-kendaraan cinta. Apapun sikap Anda, hanya keikhlasanlah yang bisa saya berikan dan titipkan buat Anda.

(Gede Pratama)


Back

Next

0 komentar: