Lima tahun lebih berumah tangga, lima tahun pula kami tinggal di rumah mertua. Sejak malam pertama pernikahan hingga si kecil berusia empat tahun, kami nyaris tak pernah memikirkan untuk beranjak dari PMI atau Pondok Mertua Indah.
Bisa dikatakan, selama kurun waktu itu kami juga tidak pernah merasakan kendala-kendala yang berarti dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Kalaupun ada konflik di antara kami paling sebatas persoalan yang biasa terjadi dalam kehidupan rumah tangga, misalnya saja masalah si kecil yang sakit dan kurang diperhatikan ibunya.
Meski demikian, sebagai suami yang ingin membahagiakan anak dan istri, bukan berarti aku tidak memiliki keinginan untuk hidup mandiri. Tapi rasanya tidak mudah meyakinkan mertua untuk mengikuti keinginanku itu. Hingga tak terasa waktu telah berlalu selama lima tahun. Memang, selama hidup di rumah mertua, sedikit banyak kami bisa menyisihkan sedikit dari penghasilan yang kami peroleh untuk di tabung. Dan atas saran mertua, uang tabungan yang tidak seberapa itu kami gunakan untuk modal usaha yang lebih produktif, seperti membeli sawah garapan, beternak ayam atau usaha mengreditkan barang-barang keperluan sehari-hari yang dilakukan istri.
Tapi, terus terang saja, hidup dalam kondisi seperti itu tidak selalu mengenakkan. Sebagai suami, rasa jenuh acapkali menghinggapi perasaanku.
Belakangan perasaan itu makin mengental, karena kondisiku yang bekerja di Jakarta mengharuskan pulang ke rumah dua minggu sekali. Konsekuensinya, bila tiba di rumah malam hari, aku harus membangunkan istri dengan mengetuk pintu depan terlebih dahulu. Hal ini aku anggap mengganggu waktu istirahat mertua. Apalagi bila istri sudah terlelap, mertualah yang membukakan pintu. Lama kelamaan akupun merasa risih.
Suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Jakarta - di dalam bus yang aku naiki - di sebelahku duduk seorang pria berusia cukup tua. Seperti biasa, untuk mengusir kejenuhan selama dalam perjalanan, akupun membuka obrolan dengannya.
Setelah hampir seperempat jam, kami ngobrol ngalor ngidul, akhirnya percakapan kami mulai menjurus pada topik yang lebih serius.
"Jadi setiap dua minggu sekali, adik pulang ke Jawa?," tanya orang tua itu.
"Ya, mau gimana lagi Pak. Anak dan istriku masih di sana, di rumah mertua. Sementara pekerjaanku di Jakarta. Jadinya seperti ini, bolak-balik terus," jawabku.
"Melelahkan sekali ya?," tandas orang tua itu.
"Ya. Bukan hanya capek fisik, ongkos ke Jawa juga bikin capek," tegasku.
"Kalau dihitung-hitung pengeluaran tiap bulan besar juga ya? Buat ongkos pulang, makan sehari-hari, sewa kamar dan ninggalin biaya hidup di kampung," tandas orang tua itu lagi.
Aku hanya mengangguk.
"Kalau boleh Bapak menyarankan. Sebaiknya adik bawa saja anak istri ke Jakarta. Itu lebih baik daripada ketemu dua minggu sekali dan risikonya lebih besar. Apalagi hidup di Jakarta, godaannya banyak," saran pria yang mengaku bernama Pak Hadi itu sambil tersenyum.
"Tapi, rasanya saya belum berani mengajak anak istri tinggal bersama. Apalagi penghasilan saya tidak seberapa," jawabku.
"Justru itu. Kita seringkali dibayang-bayangi ketakutan yang sebenarnya hanya merupakan godaan agar kita tidak berkembang. Sebagai suami, kita harus berani mengambil risiko, betapapun beratnya resiko itu.
Lihatlah kehidupan pohon pisang. Bila mereka tetap hidup dalam satu rumpun, pertumbuhannya sangat lambat. Tapi bila anak-anak pisang itu dipisahkan dari induknya, pertumbuhan mereka demikian cepat. Begitu juga kita.
Sekalipun hidup serba ada di rumah mertua, tapi kita masih bagian dari mereka. Lain halnya kalau kita mandiri. Kita memiliki kewenangan lebih besar dalam mengatur rumah tangga. Lagipula yang mengatur rezeki itu Tuhan, bukan kita. Jadi mengapa mesti takut?," jelas Pak Hadi panjang lebar.
Mendapat nasehat itu, sepertinya aku mendapat dorongan semangat yang selama ini nyaris tak pernah muncul dalam benakku. Alhamdulillah, berkat dorongan Pak Hadi , aku memberanikan diri untuk mandiri. Selanjutnya, sehari-hari aku bisa hidup berkumpul dengan anak dan istri.
Lebih bersyukur lagi, dari tabungan yang selama ini dikumpulkan istri, kini kamipun bisa membayar uang muka rumah di sebuah perumahan di pinggir Jakarta. Meski tidak terlalu besar, tapi terselip kebanggaan bahwa pada akhirnya akupun bisa mandiri.
Aku berharap menjadi seperti anak-anak pisang yang setelah dipisahkan dari induknya bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat.
Bisa dikatakan, selama kurun waktu itu kami juga tidak pernah merasakan kendala-kendala yang berarti dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Kalaupun ada konflik di antara kami paling sebatas persoalan yang biasa terjadi dalam kehidupan rumah tangga, misalnya saja masalah si kecil yang sakit dan kurang diperhatikan ibunya.
Meski demikian, sebagai suami yang ingin membahagiakan anak dan istri, bukan berarti aku tidak memiliki keinginan untuk hidup mandiri. Tapi rasanya tidak mudah meyakinkan mertua untuk mengikuti keinginanku itu. Hingga tak terasa waktu telah berlalu selama lima tahun. Memang, selama hidup di rumah mertua, sedikit banyak kami bisa menyisihkan sedikit dari penghasilan yang kami peroleh untuk di tabung. Dan atas saran mertua, uang tabungan yang tidak seberapa itu kami gunakan untuk modal usaha yang lebih produktif, seperti membeli sawah garapan, beternak ayam atau usaha mengreditkan barang-barang keperluan sehari-hari yang dilakukan istri.
Tapi, terus terang saja, hidup dalam kondisi seperti itu tidak selalu mengenakkan. Sebagai suami, rasa jenuh acapkali menghinggapi perasaanku.
Belakangan perasaan itu makin mengental, karena kondisiku yang bekerja di Jakarta mengharuskan pulang ke rumah dua minggu sekali. Konsekuensinya, bila tiba di rumah malam hari, aku harus membangunkan istri dengan mengetuk pintu depan terlebih dahulu. Hal ini aku anggap mengganggu waktu istirahat mertua. Apalagi bila istri sudah terlelap, mertualah yang membukakan pintu. Lama kelamaan akupun merasa risih.
Suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Jakarta - di dalam bus yang aku naiki - di sebelahku duduk seorang pria berusia cukup tua. Seperti biasa, untuk mengusir kejenuhan selama dalam perjalanan, akupun membuka obrolan dengannya.
Setelah hampir seperempat jam, kami ngobrol ngalor ngidul, akhirnya percakapan kami mulai menjurus pada topik yang lebih serius.
"Jadi setiap dua minggu sekali, adik pulang ke Jawa?," tanya orang tua itu.
"Ya, mau gimana lagi Pak. Anak dan istriku masih di sana, di rumah mertua. Sementara pekerjaanku di Jakarta. Jadinya seperti ini, bolak-balik terus," jawabku.
"Melelahkan sekali ya?," tandas orang tua itu.
"Ya. Bukan hanya capek fisik, ongkos ke Jawa juga bikin capek," tegasku.
"Kalau dihitung-hitung pengeluaran tiap bulan besar juga ya? Buat ongkos pulang, makan sehari-hari, sewa kamar dan ninggalin biaya hidup di kampung," tandas orang tua itu lagi.
Aku hanya mengangguk.
"Kalau boleh Bapak menyarankan. Sebaiknya adik bawa saja anak istri ke Jakarta. Itu lebih baik daripada ketemu dua minggu sekali dan risikonya lebih besar. Apalagi hidup di Jakarta, godaannya banyak," saran pria yang mengaku bernama Pak Hadi itu sambil tersenyum.
"Tapi, rasanya saya belum berani mengajak anak istri tinggal bersama. Apalagi penghasilan saya tidak seberapa," jawabku.
"Justru itu. Kita seringkali dibayang-bayangi ketakutan yang sebenarnya hanya merupakan godaan agar kita tidak berkembang. Sebagai suami, kita harus berani mengambil risiko, betapapun beratnya resiko itu.
Lihatlah kehidupan pohon pisang. Bila mereka tetap hidup dalam satu rumpun, pertumbuhannya sangat lambat. Tapi bila anak-anak pisang itu dipisahkan dari induknya, pertumbuhan mereka demikian cepat. Begitu juga kita.
Sekalipun hidup serba ada di rumah mertua, tapi kita masih bagian dari mereka. Lain halnya kalau kita mandiri. Kita memiliki kewenangan lebih besar dalam mengatur rumah tangga. Lagipula yang mengatur rezeki itu Tuhan, bukan kita. Jadi mengapa mesti takut?," jelas Pak Hadi panjang lebar.
Mendapat nasehat itu, sepertinya aku mendapat dorongan semangat yang selama ini nyaris tak pernah muncul dalam benakku. Alhamdulillah, berkat dorongan Pak Hadi , aku memberanikan diri untuk mandiri. Selanjutnya, sehari-hari aku bisa hidup berkumpul dengan anak dan istri.
Lebih bersyukur lagi, dari tabungan yang selama ini dikumpulkan istri, kini kamipun bisa membayar uang muka rumah di sebuah perumahan di pinggir Jakarta. Meski tidak terlalu besar, tapi terselip kebanggaan bahwa pada akhirnya akupun bisa mandiri.
Aku berharap menjadi seperti anak-anak pisang yang setelah dipisahkan dari induknya bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat.
0 komentar:
Posting Komentar