RANGGA DAN ANDINI

Karya : Dendy “Pelukis Awan”

Perlahan jari-jari dingin merayap menyelimuti peraduan udara, sang embun dengan serdadunya bergerilya memecahkan kebosanan suasana, membangunkan waktu yang tertidur. Gerak gemulai layaknya sang penari, tak terelakkan lagi redup ceria wajahnya memandang arogansi sang mentari, sang rembulan mengalah memucat perlahan memudar dan tertutup sama sekali.
Bersamaan dengan itu terdengar suara membahana semesta, menggema, yang mengalun lembut, sebuah irama yang membelai dan menampar, kumandang Adzan Shubuh. tampak sebelum pergi, dari balik awan rembulan menyaksikan barisan kecil berwarna putih bergerak terburu menuju satu titik, dimana sumber suara nyaring terdengar yang sudah tak asing lagi baginya, suara itulah yang tiap kali mengiringi kedatangan dan kepergiannya.
Bukan sang mentari namanya jika tak mampu menguasai suasana saat itu. Segera saja dia usir embun dan serdadunya,  dia tajamkan matanya hingga rembulan bersembunyi di balik awan yang jauh. Sorot sangar matanya sangar, penuh keyakinan, dan  dengan takut kehilangan setiap inchi nya perlahan – lahan mengawasi  dan memerdekakan semua tempat dari penjajahan kegelapan. Dia tersenyum menandakan kepuasan yang sangat, dia tebarkan kehangatan, menandakan kehidupan akan segera dimulai. Dia ucapkan “selamat pagi”…..seperti biasa.
Ucapan itu pulalah yang seperti biasanya keluar dari mulut seorang kakek kepada cucu satu-satunya dan kesayangannya, ketika fajar tiba.
Seorang kakek yang sudah sanagat renta, namun masih tegap, dan kokoh memijak bumi. Namun, keriput diwajahnya tak bisa disembunyikan lagi, sang kakek menyerah pada waktu ketika usianya sekarang beranjak 90 tahun. Warga sekitar menyebutnya “Ki Seto” dan dia menamakan cucu kesayangannya “Rangga”.
Ki Seto                  : “selamat pagi, Nak..!”
Bulan depan “Rangga” menginjak usia 20 tahun, sudah sempurna pertumbuhan rambutnya, sedikit sekali menghiasi atas bibirnya namun lebat dibawah dagunya. Rambutnya pendeknya ikal berwarna hitam. Seketika dia terbangun ketika mendengar ucapan kakeknya, matanya terbelalak, jelas sekali berwarna kebiruan. Senyum sang kakek menebar wangi diruang kamar sempi ukuran 4x6 m. Setelah mengerti cucunya sudah terbangun dari mimpi indahnya, “Ki Seto” beranjak menuju jendela kamar yang letaknya berseberangan tak jauh dari tempat tidur “Rangga”. Suara berdecit terdengar jelas ketika “Ki Seto” mendorong jendela yang berbahan dasar kayu dan agak keropos, lubang petilasan rayap Nampak diseluruh permukaannya. Engsel nya agak miring kebawah ketika “Ki Seto” menyempurnakan cahaya yang berebut hendak masuk ke dalam kamar.
Menggeliat sebentar akhirnya “Rangga” mengangkat kepalanya dan terduduk di atas kasur kapuk tanpa ranjang yang menjadi sahabat mimpinya. Mungkin kalau kasur tersebut diberi kekuasaan untuk berbicara, dia pun akan berucap “selamat pagi…!”.
Akhirnya kesempurnaan cahaya membantu pandangan mata “Ki Seto” untuk kesekian kalinya bangga melihat ketampanan cucu nya. Badannya yang tegap, kulitnya yang putih bersih, rambut pendeknya yang hitam ikal, bulu mata yang lentik, janggutnya rapi, sedikit kumis menghiasi atas bibirnya yangmerah sempurna, tidak tebal dan tidak pula tipis. Semuanya memperindah wajah lonjongnya.
Ki Seto                  : (dalam hati) “seperti  bercermin pada diri sendiri…he he..”
Namun senyuman bibirnya tak dapat disembunyikan, tertangkap jelas oleh cucu nya “Rangga”
Rangga                 : “met pagi juga, Kek..!
                                    Ada apa, Kek?”
Ki Seto                  : “tidak apa-apa, sudah sana mandi, Shalat Shubuh”
Ya, seperti itulah aktifitas setiap pagi di Pondok Pesantren milik Ki Seto. Jam dinding menunjukkan pukul 04’00 WIB. Suasana diluar Pondok masih sepi, jangkrik pun masih enggan mengakhiri lagunya. Tapi, masjid di Pondok sudah ramai dengan para Santri yang mengaji, menunggu menyambut kedatangan waktu Shalat shubuh. Tepat pukul 05’30 WIB, adzan menggema ke seantero Pondok, mendadak ramai dan cahaya putih memantul dari seragam putih para jama’ah membentuk siluet dan pendaran cahaya yang menembus cakrawala pagi itu.
Pondok Pesantren Ki Seto tak besar, hanya mampu menampung sekitar 300 orang Santri, sebagian besar Santri laki-laki. Bangunannya pun sudah tua, tak Nampak adanya modernisasi. Bukan karena ajaran garis keras tapi, semata karena Ki Seto ingin menanamkan jiwa sederhana pada para Santrinya. Letaknya agak jauh dari perkampungan warga, dikelilingi oleh perbukitan dari kaki Gunung Sanggabuana, hanya bagian depan Pondok ada jalan setapak menuju perkampungan. Jalan setapak yang berbatu dan belum sempurna dengan aspal. Warga menyebut Pondok Pesantren tersebut dengan istilah Pondok Ki Seto, nama seorang guru besarnya yang sangat dihormati dan disegani oleh para Santrinya dan warga sekitar perkampungan tersebut, bahkan nama Ki Seto sudah tak asing lagi bagi tetangga kampung lain…..mungkin selain dunia manusia pun begitu adanya.
                                                                                                                 
********

Gunung Sanggabuana ratusan tahun silam adalah tempat yang paling ingin dijauhi oleh manusia. Bahkan menyebut namanya pun sebuah pantangan bagi warga sekitar kaki Gunung Sanggabuana. Konon, tak pernah ada yang selamat jika ada orang yang memasuki kawasan Gunung Sanggabuana, pasti hilang dan tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Menurut warga sekitar kaki Gunung, Itupun masih dibilang beruntung. Karena kebanyakan tubuh orang tersebut hancur tercabik-cabik, terbelah sekian bagian, dengan organ tubuh yang berceceran membusuk setelah memasuki kawasan Gunung Sanggabuana. Entah mahluk apa yang tega berbuat demikian.
Dari cerita yang berhembus secara turun temurun, bahwa di Pusat Titik Gunung sanggabuana terdapat sebuah kerajaan Jin yang luar biasa besar dan dengan komunitas Jin yang sangat banyak. Yang secara penuh dikuasai oleh Raja nya yang bernama “Jin Alas Waru”.
Ilmu “Jin Alas Waru” sangat sakti luar biasa hingga dia sangat digdaya di komunitas bangsanya di seluruh jagat ini. Kesaktian yang luar biasa itulah yang membuatnya tidak bisa dihentikan ketika pada suatu masa, dengan segenap pasukannya membabi buta membumi hanguskan perkampungan sekitar kaki Gunung Sanggabuana.  Tanpa ampun dia membantai siapapun manusia yang ditemuinya. Entah apa motif dan tujuannya.
Korban dari pada komunitas Aliran Putih, baik itu Bangsa Manusia maupun Bangsa Jin tak sedikit yang berjatuhan ketika hendak menghentikan aksinya tersebut. Bahkan seperti tak terhadang lagi, dengan mulus “Jin Alas Waru” dan ribuan pasukannya menghabisi ratusan kampung dan membantai ribuan manusia tak berdosa.
Sungguh setelah kejadian itu, aura kebengisannya membuat Gunung Sanggabuana menjadi sangat angker. Malam-malam di kaki Gunung Sanggabuana sangat mencekam, siang pun tak banyak membantu. Tak banyak orang yang berani, walaupun hanya menyebut namanya. Nama “Jin Alas Waru”.
Namun, keganjilan tersebut masih saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak berhati nurani dan tak punya iman. Mereka memuja Sang Raja Jin dan menyembahnya. Di jadikannya Sang Raja Jin sebagai Tuhan mereka. Hingga para penganut aliran hitam menjamur disekitar kaki Gunung Sanggabuana. Dan tersebutlah daerah tersebut sebagai titik pusat kegiatan Ilmu hitam.
Waktu berjalan demikian lama, hingga kabut Hitam berselimut begitu tebal. Hingga pada suatu saat muncul lah 7 orang Kyai dari negeri seberang menginjakkan kaki di tempat itu, Kaki Gunung Sanggabuana. Dengan kelibat sorban dan cahaya kesejukan, perlahan – lahan para penganut ilmu hitam tersadarkan dan ada pula yang kalah terbunuh ketika mencoba bertarung dengan 7 orang Kyai tersebut.
Sebut saja namanya “Kyai Fadlillah Umam”, sebagai pemimpin dan salah satu dari  7 Kyai tersebut. Berjalan dengan mantap dan pasti, bersama ke 6 Kyai lainnya memasuki kawasan Gunung Sanggabuana. Puluhan bahkan ratusan Bangsa Jin tak mampu menghadang mereka, para pemuja dari Komunitas Hitam pun demikian adanya. Hingga sampailah ke 7 Kyai tersebut ke pusat titik Gunung Sanggabuana.
Disambut dengan gumpalan kabut hitam, akhirnya ke 7 Kyai menemukan jalan langsung menuju Istana Raja “Jin Alas Waru”. Siapa sangka telah siap sekitar jutaan pasukan Jin menghadang didepan Istana tersebut. Melihat pemandangan tak menyenangkan tersebut, ke 6 Kyai sahabat “Kyai Fadlillah Umam” meretas dan berubah menjadi jutaan pasukan Jin berpakaian serba putih, Pasukan Jin Muslim. Peperangan tak terelakkan lagi, serang menyerang terjadi di depan halaman Istana “Raja Jin Alas Waru”, komando dari ”Raja Jin Alas Waru” mengisyaratkan menyerang sampai mati.
Kini tinggal ”Raja Jin Alas Waru” dan “Kyai Fadlillah Umam”. Kedua mahluk dengan kesaktian luar biasa ini bertarung mengeruk Bumi, menyayat langit dan menyeruak Jagat. Dentuman memekikan telinga dan menggetarkan Sukma terdengar sampai Kaki Gunung Sanggabuana, bahkan Bumi pun tak sanggup menadahnya sampai berkali-kali longsong dan gempa terjadi, langit pun demikian adanya, enggan menaungi arogansi pertarungantersebut, serta merta mengirim awan hitam pekat diatas arena pertempuran tersebut. Warga sekitar kaki gunung berduyun-duyun meninggalkan rumah mereka, menuju tempat yang lebih aman.
Cambuk petir ”Raja Jin Alas Waru” hamper saja mengenai lengan kiri “Kyai Fadlillah Umam”, namun dengan cekatan “Kyai Fadlillah Umam” menghindar sembari menghunuskan “Pedang Sinar Illahi” nya. Namun itu pun hanya mengenai pepohonan sekitar, hingga luluh lantah, hangus menjadi arang dan abu.
Silih serang berlangsung sampai hari ketiga, kini mereka berdua sudah berada setingginya di atas awan, memecah kepekatan warnanya dengan aneka percikan api dan kilauan kilat. Sementara pertarungan jutaan pasukan dibawah semakin berkurang, kini pun dengan ribuan tubuh bergelimpangan sebagai pijakan kaki mereka.
Memasuki hari ketujuh, gemuruh serangan mulai sedikit padam, pasukan di darat semakin berkurang. Namun semangat serang diatas awan semakin hebat. Sekali lagi berkat pertolongan Yang Maha Kuasa, “Kyai Fadlillah Umam” berhasil luput dari ribuan kilatan “cambuk petir” namun begitu, tak ayal lagi kaki kanannya tersambar ketika dengan nekat “sang Kyai” berhasil masuk ke jantung pertahanan “sang Raja Jin”. “Pedang Sinar Illahi” menancap pas didada “Sang Raja Jin Alas Waru” hingga tembus ke punggungnya. Berbarengan dengan itu kontan terdengar suara gemuruh teriakan pesakitan “sang raja Jin Alas Waru” diikuti gemuruh teriakan kemenangan pasukan Jin Putih dari darat dan keheningan diantara para pasukan Jin Hitam. Melihat tuannya terjatuh mendebam ke darat, pasukan Jin Hitam lari kocar-kacir ke segala arah. Tanpa pesan terakhir, “Sang Raja Jin alas Waru” menghembuskan napasnya yang terakhir. Diikuti ratusan sujud syukur dari para pasuka Jin Putih, tak lama “Sang Kyai Fadlillah Umam”. Turun ke darat dan langsung memanjatkan syukur kehadirat Illahi yang telah membantu memenangkan pertarungan dahsyat ini.
Melihat pasukannya kocar-kacir, Seisi Istana “Raja Jin alas Waru” keluar, hendak melihat apa yang terjadi. Kekecewaan dan ketakutan tampak terlihat dari rona wajah mereka, ada yang kabur, ada yang langsung sujud tanda menyerah, ada pula yang bertahan dengan ego nya menantang maut dengan aura kemenangan pasukan Jin Putih.
Kemudian, berjalan paling depan “Kyai Fadlillah Umam” menemui sang ratu. Menyerahkan jasad suaminya “Sang Raja Jin alas Waru”. Disertai air mata sang ratu menerima suaminya dalam keadaan tanpa nyawa. Sang kyai berjanji tidak akan menyakiti sang Ratu dan keluarganya asalkan memenuhi beberapa persyaratan yang “Kyai Fadlillah Umam” ajukan. Mereka atas nama perwakilan dari komunitasnya masing-masing mengadakan perjanjian. 
Semenjak itu, keadaan Kaki gunung Sanggabuana menjadi aman dan tentram. Bahkan sudah banyak yang berhasil sampai ke titik pusat Gunung Sanggabuana dan pulang tanpa cacat sama sekali. Namun, berita tentang keluarga “Kyai Fadlillah Umam” di negeri seberang, tercium oleh para pasukan Jin Hitam yang masih menyimpan dendam. Tak ayal terjadi pembantaian, semua keluarga “Kyai Fadlillah Umam” terbunuh, kecuali anak gadis “Kyai Fadlillah Umam” sempat tertolong setelah datang Pasukan Putih utusan dari “Kyai Fadlillah Umam”.
Mendengar kejadian tersebut, “Kyai Fadlillah Umam” murka. Namun, dia masih punya belas kasihan, dan kebijaksanaan yang terakhir. Dia lalu hanya menyegel Istana Raja Jin Alas Waru, hingga seluruh penghuni Istana tersebut tidak bisa keluar dari wilayah Gunung Sanggabuana.
Kyai Fadlillah Umam      : “Dengan catatan, apabila kau langgar lagi perjanjian ini. Satu orang saja
    siapapun itu, bertemu dengan salah satu penghuni Istana ini atau pasukan
    Hitam mu. Maka, Belas kasih ku sudah habis. Ingat itu Ratu…!”
Kemudian untuk menjaga terjadinya pelanggaran dari perjanjian tersebut, “Kyai Fadlillah Umam” mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Kaki Gunung Sanggabuana, tepatnya di gerbang jalan menuju titik pusat Gunung sanggabuana.
 Warga sekitar lebih nyaman menyebut “Kyai Fadlillah Umam” dengan sebutan Ki Seto karena kebaikan dan belas kasihannya yang luar biasa, bahkan pada hewan sekalipun. Dan kondisi terkendali tersebut berlangsung cukup lama hingga saat ini, tepatnya 60 tahun.

********

Bersambung (tunggu mood...hehehe...)

2 komentar:

Ky darsa mengatakan...

KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 6 angka [999434] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI? bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya?menang NOMOR RM3 JUTA ,
PESUGIHAN DANA GAIB

PESUGIHAN UANG BALIK
DAN PESUGIHAN TUYUL

Ky darsa mengatakan...

KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 6 angka [999434] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI? bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya?menang NOMOR RM3 JUTA ,

PESUGIHAN DANA GAIB

PESUGIHAN UANG BALIK
DAN PESUGIHAN TUYUL