Puisi-puisi Cinta Chairil yang Menggetarkan

Oleh
Tjahjono Widarmanto

Memperbincangkan kesusastraan Indonesia, mustahil tanpa menyebut sosok Chairil Anwar. Namanya menjadi bagian tak terpisahkan bagi terbentuknya identitas kesusastraan Indonesia, khususnya identitas sastra puisi Indonesia. Sampai sekarang namanya menjadi mitos dan paling banyak diperbincangkan dalam khazanah sastra Indonesia.
Ialah yang dianggap meletakkan dasar perpuisian modern Indonesia, yang mengembangkan estetika Indonesia modern dengan bentuk yang ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan.
Membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar, orang akan mempertautkan dengan vitalitas, ego, dan spirit individualis dalam diri Chairil yang memang tersirat dalam banyak sajaknya (bahkan cara hidupnya). Hal itu memang telah menjadi pilihan konsep estetika Chairil, seperti yang diteriakkannya dalam pidatonya:
…Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni; vitalitas itu Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium…
(Pidato Chairil 7 Juli 1943). Karena kredonya itu tak heran puisi-puisinya meneriakkan reaksioner, heroik, sangat individualis, bahkan revolusioner. Hal ini tergambar jelas dalam puisi-puisi ”Persetujuan dengan Bung Karno”, ”1943”, ”Semangat”, ”Siap Sedia”, dan masih banyak lagi. Bahkan, ia tak segan-segan mengumumkan dirinya sendiri dengan lantang sebagai ”binatang jalang” dalam sejaknya yang paling populer, ”Aku”.
Sungguhpun demikian, seliar-liarnya, Chairil tetaplah seorang seniman yang tak luput dari perasaan romantisme, bahkan sentimentil saat ia terlibat dengan urusan wanita dan cinta. Kehidupan Chairil memang banyak diwarnai dengan nama-nama wanita; ada yang memang dipacarinya, ada yang ditaksirnya tapi tak terbalas sehingga ia patah hati, ada pula yang sangat mencintai dan dicintainya tapi tak pernah sampai pada perkawinan.
Wanita-wanita itu dan ”pengalamannya” dengan wanita-wanita itu menjadi sumber inspirasinya bahkan nama-namanya secara tersurat hadir dalam puisi-puisinya, seperti nama-nama Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.
Saat bersentuhan dengan persoalan cinta dan wanita ini, Chairil Anwar bisa menjelma menjadi sosok yang amat halus dan romantis. Perasaan cinta digambarkannya dengan aksentuasi lembut dan bersahaja, seperti pada puisi yang dipersembahkannya pada Gadis Rasid:

Buat Gadis Rasid

Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyembur

………………..

Kita terapit, cintaku
—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
—-the only possible non-stop flight
tidak mendapat

Dalam puisi di atas dengan amat lembut Chairil bertutur perasaan hatinya yang tercepit cinta. Hampir tidak ada kata-kata yang bombas dan ekspresif, seolah-olah hanya gumaman cinta yang mendesak di dada. Pada puisi ”Puncak”, romantisme cinta Chairil memuncak dan diucapkannya dengan terus-terang:

………..kita berbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang
………..
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di baalik rupa
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
Masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana……..

Saat Chairil mengalami patah hati, ia pun berubah menjadi sosok sendu yang sentimentil. Seperti yang tergambar dalam puisinya ”Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini:

Senja di Pelabuhan Kecil
(buat Sri Aryati)
Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap

Kemuraman Chairil akibat patah hati amat terasa dalam puisi ini. Diksi-diksi:
gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut. Gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan.
Merupakan komposisi yang sedemikian rupa disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah. Segalanya jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Namun, tak seluruhnya Chairil menggambarkan pesona wanita dan cinta dengan romantisme yang teduh dan halus. Kadang-kadang melompat kenakalan dan keliarannya dalam melukiskan keberadaan wanita, bahkan dengan cara yang mengejutkan dan kurang ajar, seperti terdapat pada penggalan puisinya yang berjudul ”Kepada Kawan” di bawah ini:

…….
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam

Kenakalan dan keliaran semacam itu juga muncul saat Chairil menggambarkan perasaan dan hasrat birahi yang menggebu-gebu, yang diungkapkannya secara terus terang:

Lagu Biasa

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….
Keterusterangan yang gamblang dalam menggambarkan hasrat seksual semacam di atas, juga muncul dalam puisi-puisinya yang lain, seperti pada ”Tuti Artic”:
…../Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa/…ketika kita bersepeda kuantar kau pulang…/panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara/.
Di antara puisi-puisi Chairil yang bersinggungan dengan wanita dan cinta seperti di atas, ada dua buah puisi cinta Chairil yang sangat menggetarkan hati dan paling terindah yang dipersembahkannya untuk seorang gadis yang bernama Sumirat. Konon gadis ini adalah gadis yang paling mencintai dan dicintai. Namun sayang keluarga Sumirat, yang tinggal di Paron, sebuah desa kecil di Ngawi, tak menghendaki Chairil jadi menantunya.
Salah satu puisi itu berjudul ”Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis Chairil pada tahun kematiannya yang disebut-sebut sebagai penggambaran seksualitas dalam kedekatannya dengan maut, yang berarti juga seksualitas sebagai dorongan daya hidup yang terus menyala sampai maut merenggut. Inilah puisi itu selengkapnya:
Mirat Muda, Chairil Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.

Dalam puisi di atas tampak sekali cinta yang dalam pada diri Chairil pada Sumirat, gadis yang dikaguminya itu. Dan bagi Chairil, Sumirat menjadi semangat pendorong cita-citanya untuk terus berkarya; seperti tertulis pada suratnya untuk HB Jassin pada bulan Maret 1944: ”Orang selalu saja salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian, karena aku akan sanggup membuktikan bahwa karya-karyaku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan kita putus asa Mirat, aku akan terus berjuang untuk memberi bukti”.
Cinta Chairil dan Mirat memang abadi dalam sajak, tapi mereka tak pernah berhasil menikah. Chairil juga berhasil membuktikan kepada Mirat bahwa karya-karya bermutu dan berharga tinggi. Mirat atau Sumirat yang berpisah karena perang kemerdekaan, akhirnya mendengar semuanya tentang bagaimana ia beristri, punya anak, dan mati muda, juga bagaimana namanya menjadi besar, menjadi mitos. Dan, Sumirat, gadis yang pernah dicintai dan mencintai Chairil habis-habisan itu bertutur (Intisari; Juni 1971):
…Kini Cril tiada lagi. Cril, penyair yang sepanjang hidupku kukagumi dan kudambakan, sebagai seorang penyair besar dari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti selalu dikatakannya kepadaku. Dia meninggalkan seorang istri dan anak perempuan. Ingin aku bisa menjumpai mereka, bagaimanapun aku pernah mengenal baik dengan almarhum”.
Puisinya yang lain, yang juga dipersembahkan buat Sumirat sangat menampakkan romantisme, harapan, dan sanjungan yang luar biasa dan menggetarkan dari gelombang jiwa seorang Chairil. Puisi ini boleh dikatakan paling romantis, paling indah dan mewakili estetika yang lain. Estetika yang romantis, indah, lembut, dan menggetarkan ini menyajikan warna yang lain di samping warna puisi Chairil yang meledak-ledak; liar, dan ekspresif; yang melengkapi kedahsyatan kepenyairan Chairil Anwar. Saya kutipkan puisi itu untuk mengakhiri tulisan ini:

Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….

Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.

0 komentar: